rahmatan lil'alamin
Rabu, 30 Januari 2013
Senin, 21 Januari 2013
ISLAM DI ASIA TENGGARA
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DI ASIA TENGGARA
A. Proses Islamisasi
Sejak akhir abad ke-11 Samudra Pasai atau leran di Jawa Timur telah memeluk Islam, ini karena di tempat-tempat tersebut ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab yang bertahun 1297 (di pasai) dan 1102 (di leran). Dari dua tempat tersebut telah masuk islam sedangkan samudra belum masuk islam bahkan masih dalam sembahan berhala. demikian pula, pengembara Muslim Marokko, Ibnu Battuta, yang mengunjungi Pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk islam, dari tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar ke seluruh Nusantara. Asal datang Islam di Asia Tenggara ada tiga teori besar;
Pertama, Teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab , atau tempatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1878), Keyzer (18 59), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan Islam datang dari Arab, meskipun ia menyebutkan danya hubungan dengan “orang-orang Arab” tanda menunjuk asal ataupun kaitannya dengan hadramaut. Kedua, Teori yang mengatakan Islam di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Ketiga, yang dikembangkan oleh Fatimi yang menyatakan Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Mengutip dari keterangan Tome Pures.[1]
Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Mengenai kedatangan Islam di negara-negara yang ada di Asia Tenggara hampir semuanya didahului oleh interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan para pedagang Arab, India, Bengal, Cina, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Pada abad ke-5 sebelum Masehi Kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang berlayar ke Cina dan mereka telah menjalin hubungan dengan
masyarakat sekitar Pesisir. Kondisi semacam inilah yang dimanfaatkan para pedagang Muslim yang singgah untuk menyebarkan Islam pada warga sekitar pesisir.
Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu:
1. Saluran perdagangan
Pada taraf permulaan, proses masuknya Islam adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melaui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan mulah-mulah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena factor hubungan ekonomi drengan pedagang-rpedrarrgarng Muslim.
Perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
2. Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu. Sebelum dikawin mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas, akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan Muslim.
Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan; tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini jauh lebih menguntungkan apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja dan adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan Raden Patah (Raja pertama Demak) dan lain-lain.
3. Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengana jaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka juga ada yang mengawini puteri-puteri bangsawab setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih dikembangkan di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Saluran pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwak ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Kleuaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.
5. Saluran kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam serita itu di sisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Saluran politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia Bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
Untuk lebih memperjelas bagaimana proses masuknya agama Islam di Asia Tenggara ini, ada 3 teori diharapkan dapat membantu memperjelas tentang penerimaan Islam yang sebenarnya:
1.Menekankan peran kaum pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah pesisir lndonesia, dan wilayah Asia Tenggara yang lain yang kemudian melakukan asimilasi dengan jalan menikah dengan beberapa keluarga penguasa local yang telah menyumbangkan peran diplomatik, dan pengalaman lnternasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir. Kelompok pertama yang memeluk agama lslam adalah dari penguasa lokal yang berusaha menarik simpati lalu-lintas Muslim dan menjadi persekutuan dalam bersaing menghadapi pedagang-pedagang Hindu dari Jawa. Beberapa tokoh di wilayah pesisir tersebut menjadikan konversi ke agama lslam untuk melegitimasi perlawanan mereka terhadap otoritas Majapahit dan untuk melepaskan diri dari pemerintahan beberapa lemperium wilayah tengah Jawa.
2.Menekankan peran kaum misionari dari Gujarat, Bengal dan Arabia. Kedatangan para sufi bukan hanya sebagai guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Mereka mampu mengkomunikasikan visi agama mereka dalam bentuknya, yang sesuai dengan keyakinan yang telah berkembang di wilayah Asia Tenggara. Dengan demikian dimungkinkan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara agaknya tidak lepas dengan kultur daerah setempat.
3.Lebih menekankan makna lslam bagi masyarakat umum dari pada bagi kalangan elite pemerintah. Islam telah menyumbang sebuah landasan ldeologis bagi kebajikan lndividual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan bagi lntegrasi kelompok parochial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar (Lapidus, 1999:720-721). Agaknya ketiga teori tersebut bisa jadi semuanya berlaku, sekalipun dalam kondisi yang berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Tidak terdapat proses tunggal atau sumber tunggal bagi penyebaran lslam di Asia Tenggara, namun para pedagang dan kaum sufi pengembara, pengaruh para murid, dan penyebaran berbagai sekolah agaknya merupakan faktor penyebaran lslam yang sangat penting.[2]
Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
1. Teori kedatangan Islam di Indonesia.
Kennet W. Morgan menerangkan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesia yang mula-mula sekali terdapat dalam berita Marcopolo. Perjalananya kembali ke Venezia pada tahun 692 (1292 M). Marcopolo, setelah bekerja pada Kubilai khan di Tionkok, singgah di perlak, sebuah pantai di utara Sumatra. Menurut Marcopolo, penduduk Perlak ketika itu diislamkan oleh pedagang yang disebut kaum Saracen.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian besar orang Indonesia. Dalam Andi Faisal Bakti, Islamisasi di Indonesia telah ada semenjak abad ke-13, 16, dan 17. berikut ini kutipannya :
“…pasai, Negara Islam telah berdiri pada abad ke-13. perkembangan yang signifikan terjadi pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, dengan berdirinya beberapa Negara Islam, seperti Aceh, Banten, Mattaram, Gowa-Tallo, Ternata, dan Tidore. Penggunaan “sultan” (seltan arab) adalah symbol nyata Islam yang dipakai oleh beberapa raja, seperti Sultan Iskandar Muda; Sultan Iskandar Thani – Aceh; Sultan Ageng Tirtyasa – Banten; Sultan Hasanuddin – Gowa-Tallo; Sultan Agung Mataram; dan Sultan Baabullah – Ternate. Pada periode ini juga muncul beberapa ulama Islam, seperti Hamzah Fansuri, Syams Ad-Din As-Sumatrani, Abd Ar-Rauf As-Sinkii yang menyebarkan Islam dari Aceh, Syekh Abu Yusuf dari Makasar ke Banten, dan Wali Songo di Jawa. Dari mereka inilah, Islam local dibuka…”[3]
Tiga masalah pokok dalam mengenai kedatangan Islam di Nusantara, yaitu; tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Kedatangan Islam di Nusantara tidaklah bersamaan, kerajaan-kerajaan dan daerah yang didatangi mempunyai situasi politik dan social budaya yang berlain.
Pada masa kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaanya sekitar abad ke-7 M.dan pada abad ke-8 M selat Malaka, pedagang-pedagang muslim dalam pelayran ke negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kepulauan Nusantara juta telah dianggap penting bagi pedagang antarabangsa sejak zaman purba, karena pulau-pulaunya terkenal di sepanjang laut (pantai0 yang menghubungkan Cina dan kekuasaan kekaisaran Romawi.
2. Sejak Awal Masuknya Islam ke Indonesia
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara Negara-negara di Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagien barat maupun kerajaan Cina zaman Dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Islam masuk ke pulau Jawa deperkirakan pada abad ke-11 M, dengan ditemuknnya makam Fatimah binti Maemun di Lereng Gresik yang berangkat pada tahun 475 H/1082 M.menyebutkan baehwa Islam masuk ke pulau Jawa pada abad ke-12/13 M ke Maluku sekitar abad ke-14 M, ke Kalimantan sekitar awal abad ke-15, ke Sulawesi abad ke-16. penduduk atau penguasa kepulauan tersebut masuk Islam sebelum kolonia Belanda menguasai Indonesia.
Wan Huseni Azmi mengemukakan dalam makalahnya ada tiga teori kedatangan Islam ke wilayah Melayu, yakni:
1. Teori Arab, yaitu datangnya Islam ke Melayu secara langsung dari Arab, karena muslim wilayah Melayu berpegang pada madzhab Syafi’I yang lahir Semenanjung tenah Arav. Teori ini di sokong oleh Sir John Crawford.
2. Teori India, yakni bahwa Islam datang dari India. Teori ini lahir selepas tahun 1883 M, dibawah oleh C.Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini, di antaranya Dr, Gonda, Van Ronkel, Marrison, R,A Kern, dan C.A. O. Van Niewinhuize.
3. Teori Cina, yakni bahwa Islam datang ke wilayah Nusantara dari Cina. Teori ini dekemukakkan oleh Emanuel Godinho de Eradie, seorang scientist spanyol.
Meskipun demikian, dapat kita akui bahwa jalan yang dibawa para saudagar Arab, masuk ke wilayah Nusantara ini adalah sama. Oleh sebab itu, dapatlah kita berpendapat bahwa dakwah Islamiyah datang ke wilayah Nusantara melalui lautan India dan juga laut Cina Selatan secara langsung dari negeri Arab dan oleh orang-orang Arab.
3. Agama dan kekuatan Politik pada Masa pra-Penjajah
Pada abad ke-7, Islam belum menyebarkan luas secara merata ke seluruh penjuru Nusantara, kare pengaruh agama Budha masih memegang peranan di kerajaan Sriwijaya, terutama dalam kehidupan politik, social, keekonomian, dan kebudayaan. Ketika pada abad awak ke-13 memasuki kemunduran, dalam kondisi ini padagang Islam memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan diri sebagai karejaan yang bercorak Islam.
Islam sebagai agama yang memberikan corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai struktur pemerintahan sebelum datangnya Belanda dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusatara ini, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Malaka
Islam berkembang di Malaka, sebuah kerajaan yang didirikan oleh perameswar. Kemudian ia mengganti namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah setelah menikah dengan saudara perempuan raja Pasai. Muhammad Iskandar Syahdi diganti oleh Muhammad Syah (1424-1444 M), Muhammad Syah diganti oleh Abu Sa’id (1444-1445 M), dan Abu Sa’id diganti oleh Sultan Muzhaffar Syah (1445-1449 M).
Pada zaman Muzhaffar Syah, Islam disebar secara langsung oleh raja (sultan) sehingga mengalami perkembangan pesat dan mampu menguasai perdagangan . Ibukota kerajaan adalah Johor. Pada tahun 1511 M, Portugis menguasai Malaka, sehingga mengurangi peran Malaka dari Johor dipindahkan ke kepulauan Riau untuk mengakomodasikan kepentingan bangsa Aceh. Aceh kemudian menggantikan peran Malaka sebagai pusat penyebarab Islam dan mempunyai pemerintahan yang kuat.
Sarawak, Sulu, dan Mindanau
Sisa-sisa kekuasaan Sriwijaya “ditumpas” oleh Majapahit. Sejumlah pangeran dan prajurit melarikan diri ke berbagai wilayah Melayu. Di pulau Jolo, terdapat kerajaan Baguinda. Menurut satu riwayat, seorang Arab yang melakukan perjalanan dari Sumatra dan Kalimantan, menikah dengan anak perempuan raja Baguinda (1450 M). setelah itu,semua sultan Sulu menyatakan dari sebagai keturunan dari sultan pertama. Islam yang berkambang di Sulu dan Filipina Utara dibawa oleh para pedagang dan da’i dari Malaka sehingga Spanyol melaporkan bahwa sebelum terbentuk kesultanan Islam di Filipina, telah ada perkembangan muslim (1514 M).
Pada tahun 1511 M, pusat perdagangan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugis. Anggota keluarga kerajaan melarikan diri ke berbagai daerah untuk mengungsi. Setelah Malaka jatuh, Brunei muncul sebagai pusat perdagangan bagi umat Islam (1520 M). sultan Muhammad yang berkuasa di Brunei didukung oleh saudaranya di Johor, Ahmad. Sultan yang berkuasa berikutnya adalah Nakoda Ragam dengan gelar Sultan Bolkiah. Pada zamanya, Brunei berkambanga dan angakatan perang dibentuka.
Pemerintahan Filipina tidak bisa perjanjian Tripoli, sehinggan pada tahun 1977, terjadi lagi perang antara muslim dengan pemerintahan. Nur Misuari mendapat tantangan dari fraksi lain, yaitu Front pembebasan Islam Moro (MILF) yang konservatif dan kelompok reformis MNLF (MNLF-RG) yang medernis.
Pada zaman Crorzon Aquino, Manila gagal meneruskan negosiasi yang berpijak pada perjanjian Tripoli. Akan tetapi pemerintahan berjanji akan memberikan otonomi terbatas kepada Moro. Meskipun demikian, MNLF telah menarik diri dari negosiasi dan bahkan menyeluruh kepada fraksi-fraksi Moro lainnya.
Thailand dan Birma (Myanmar)
Islam datang ke Thailan dengan perantaraan pedaganga yang berasal dari Arab dan India. Peran pedagang yang berasal dari Arab dan India disebut Khek Islam (pedagang muslim) oleh penduduk setempat. Para pedagang tersebut meminta kepada raja Siam untuk mendirikan masjid. Permohonan mereka di kabulkan oleh raja maka didirikanlah masjid Bangkok Noi (Bangkok kecil). Islam desebarkan di Siam melalui hubungan dagang dan perkawinan.
Wilayah Thailand merupakan wilayah kesultanan Patani Darusasalam (Patani Raya) yang meliputi Patani (Thailand Selatan), Trengganu, dan Kelantan (Malaysia). Pada tahun 1901, wilayah tersebut dikuasai oleh kerajaan Thailand. Berdasarkan perjanjian 1902, wilayah kesultanan Patani Darussalam dipecah menjadi dua macam, yaitu Patani dimasukkan ke dalam wilayah Thailand, sedangkan Trengganu dan Kelantan dimasukkan ke dalam wilayah kolonia Inggris. Sekarang, Trengganu dan Kelantan merupakan Negara bagian dari Malaysia.
Secara umum, Asep Ahmad Hidayat membagi gerakan muslim Thailand menjadi dua, yaitu gerakan non-kooperatif dan gerakan kooperatif. Sepeninggalan Haji Sulong, rakyat Melayu Patani tidak lagi menuntut otonomi, tetapi kemerdekaan penuh bagi bangsa Patani. Haji Sulong telah berhasil membangkitkan rasa rasionalisme di kalangan Melayu Patani. Sekarang, di Thailand terdapat empat organisasi muslim yang menuntut kemerdekaan penuh bagi Patani, yaitu Barisan Nasional Patani (BNPP) atau National Liberation Front of Patani (NLFP), Barisan Revolusi Nasional (BRN) atau Liberation Front of Republic Petani (LFRP), Pertumbuhan Pembiasaan Patani (PPPP) atau Patani United Liberation Front of Republic Patani (LFRP), dan Gerakan Mujahidin Patani (GMP). Kendali seluruh organisasi pergerakan nasionalis Patani ini dipegang oleh kaum intelektual Patani. Landasan perjuangan mereka adalah “Bangsa Melayu, Budaya Melayu, dan Islam”.
Singapura
Secara historis, sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles dari British East India Company pada tahun 1819 hingga kemerdekaannya pada tahun 1965, perkembangan hukum Singapura sangat berhubungan erat dengan majikan kolonia Inggrisnya.
Sistem hukum Singapura adalah hamparan permadani yang kaya dengan undang-undang, institusi-institusi, nilai-nilai, sejarah serta budaya. Layaknya sulaman percaala Singapura, hukum itu dijalin bersama sedemikian sehingga membentuk kaledoskop yurisprundensi dan diikat dengan identitas nasional yang unik.
Awal abad ke-19, Singapura berada di bawah kekuasaan Sultan Johor, yang menetap di kepulauan Riau-Lingga. Kombinasi tradisi Melayu dan hukum adat (yaitu hukum dan kebiasaaan tradisional yang secara lokal berlaku di Indonesia dan Malaysia) telah membentuk dasar bagi sistem hukum awal yang berlaku bagi masyarakat nelayan pada waktu itu yang jumlahnya tidak lebih dari 200 orang.
Brunei
Perkembangan Islam di Brunei tidak bisa terlepas dari Indonesia yang meyoritas bermadzhab Syafi’i. hal itu terlihat dari madzhab resmi Negara tersebut, yaitu madzhab Syafi’i. pengaruh nyata terhadap Negara Brunei adalah perkembangaba Islam yang terjadi di Kalimantan.
Bagi muslim Brunei, hukum Islam sangat berpengaruh, tentang hokum keluarga yang bersumber madzhab Syafi’I (tiga madzhab sunni lainnya setelah disetujui oleh sultan, tredisi kuno, dan tradisi Melayu) Negara Brunei adalah jajahan Inggris yang memberikan pengaruh besar terhadap konstitusi hukum di Negara tersebut. Hal itu terbukti dari konstitusi Negara yang dibuat pada tahun 1959 dipengaruhi oleh Inggris dengan system common law, terutama system peradilan yang mengadopsi system Inggris sejak tahun 1955.
Inggris pada tehun 1984, hal itu terungkap dalam Wikipedia: free Encylopedia, bahwa:
“ Selama turun waktu abad ke-5 dan ke-16, Negara Brunei menguasai kepulauan Borneo dan beberapa pulau Klaimantan dan Filipina. Ekspansi Eropa yang datanga dari dari Spanyol dan Belanda, sejak abad ke-16 mencaplok sebagian wilayah Brunei. Pada abad ke-19, Brunei mencari Bantuan ke Inggris dalam memepertahankan sebagian wilayah tersebut. Sampai khirnya, beberapa bagian Negara Brunei dikuasai dan diatur oleh Inggris yang diformalkan pada tanhun 1906. konstitusi Negara ditegakkan pada tahun 1959 yang memberikan izin pengaturan secara internal dam menerapkan lembaga legislative yang diatur oleh Inggris. Persetujuan berakhit pada tahun 1971 bahwa Brunei dari protokoler Inggris sampai Negara tersebut merdeka pada tahun 1984.”[4]
B. Pertumbuhan Lembaga politik dan Lembaga Sosial
Islam di Asia Tenggara dan Indonesia ialah Sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai China melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).
Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah dating empat orang Muslim dari jazirah Arabia. Yang pertama, bertempat di Canton (Guangzhou), yang kedua menetap dikota Chow, yang ketiga dan keempat bermukim di Coang Chow. Orang Muslim pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas, adalah seorang muballigh dan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam di China. Ia bukan saja mendirikan masjid di Canto, yang disebut masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi).
Karena itu, sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan sejarah perkembangan Islam di negeri mereka, yang dibawa langsung oleh sahabat dekat Nabi Muhammad SAW sendiri, sejak abad ke-7 dan sesudahnya. Makin banyak orang Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubaligh yang secara khusus melakukan penyebaran Islam. Sejak abad ke-7 dan abad selanjutnya Islam telah datang di daerah bagian Timur Asia, yaitu di negeri China, khususnya China Selatan. Namun ini menimbulkan pertanyaan tentang kedatangan Islam di daerah Asia Tenggara. Sebagaimana dikemukakan diatas Selat Malaka sejak abad tersebut sudah mempunyai kedudukan penting. Karena itu, boleh jadi para pedagang dan munaligh Arab dan Persia yang sampai di China Selatan juga menempuh pelayaran melalui Selat Malaka. Kedatangan Islam di Asia Tenggara dapat dihubungkan dengan pemberitaan dari I-Cing, seorang musafir Budha, yang mengadakan perjalanan dengan kapal yang di sebutnya kapal Po-Sse di Canton pada tahun 671. Ia kemudian berlayar menuju arah selatan ke Bhoga (di duga daerah Palembang di Sumatera Selatan). Selain pemberitaan tersebut, dalam Hsin-Ting-Shu dari masa Dinasti yang terdapat laporan yang menceritakan orang Ta-Shih mempunyai niat untuk menyerang kerajaan Ho-Ling di bawah pemerintahan Ratu Sima (674).
Dari sumber tersebut, ada dua sebutan yaitu Po-Sse dan Ta-Shih. Menurut beberapa ahli, yang dimaksud dengan Po-Sse adalah Persia dan yang dimaksud dengan Ta-Shih adalah Arab. Jadi jelaslah bahwa orang Persia dan Arab sudah hadir di Asia Tenggara sejak abad-7 dengan membawa ajaran Islam.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tempat orang Ta Shih. Ada yang menyebut bahwa mereka berada di Pesisir Barat Sumatera atau di Palembang. Namun adapula yang memperkirakannya di Kuala Barang di daerah Terengganu. Terlepas dari beda pendapat ini, jelas bahwa tempat tersebut berada di bagian Barat Asia Tenggara. Juga ada pemberitaan China (sekitar tahun 758) dari Hikayat Dinasti Tang yang melaporkan peristiwa pemberontakan yang dilakukan orang Ta-Shih dan Po-Se. Mereka mersak dan membakar kota Canton (Guangzhoo) untuk membantu kaum petani melawan pemerintahan Kaisar Hitsung (878-899).
Setelah melakukan perusakan dan pembakaran kota Canton itu, orang Ta-Shih dan Po-Se menyingkir dengan kapal. Mereka ke Kedah dan Palembang untuk meminta perlindungan dari kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan berita ini terlihat bahwa orang Arab dan Persia yang sudah merupakan komunitas Muslim itu mampu melakukan kegiatan politik dan perlawanan terhadap penguasa China. Ada beberapa pendapat dari para ahli sejarah mengenai masuknya Islam ke Indonesia :
1. Menurut Zainal Arifin Abbas, Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M (684 M). Pada tahun tersebut datang seorang pemimpin Arab ke Tiongkok dan sudah mempunyai pengikut dari Sumatera Utara. Jadi, agama Islam masuk pertama kali ke Indonesia di Sumatera Utara.
2. Menurut Dr. Hamka, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 674 M. Berdasarkan catatan Tiongkok , saat itu datang seorang utusan raja Arab Ta Cheh (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling/Kalingga) untuk membuktikan keadilan, kemakmuran dan keamanan pemerintah Ratu Shima di Jawa.
3. Menurut Drs. Juneid Parinduri, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 670 M karena di Barus Tapanuli, didapatkan sebuah makam yang berangka Haa-Miim yang berarti tahun 670 M.
4. Seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 17-20 Maret 1963, mengambil kesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad I H/abad 7 M langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi ialah pasisir Sumatera.
Sedangkan perkembangan Agama Islam di Indonesia sampai berdirinya kerajaankerajaan Islam di bagi menjadi tiga fase, antara lain :
a) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina;
b) Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya di samping berita-berita asing juga makam-makam Islam;
c) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Abdullah, 1991:39).[5]
C. Perkembangan Keagamaan dan Peradaban
Pada Islam di Asia Tenggara yang tidak terlepas dari kaum pedagang Muslim. Hingga kontrol ekonomi pun di monopoli oleh mereka. Disamping itu pengaruh ajaran Islam sendiripun telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan Masyarakat Asia Tenggara. Islam mentransformasikan budaya masyarakat yang telah di-Islamkan di kawasan ini, secara bertahap. Islam dan etos yang lahir darinya muncul sebagai dasar kebudayaan.
Namun dari masyarakat yang telah di-Islamkan dengan sedikit muatan lokal. Islamisasi dari kawasan Asia Tenggara ini membawa persamaan di bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi hak istimewa kaum bangsawan. Tradisi pendidikan Islam melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Setiap Muslim diharapkan mampu membaca al Qur’an dan memahami asas-asas Islam secara rasional dan dan dengan belajar huruf Arab diperkenalkan dan digunakan di seluruh wilayah dari Aceh hingga Mindanao. Bahasabahasa lokal diperluasnya dengan kosa-kata dan gaya bahasa Arab. Bahasa Melayu secara khusus dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari di Asia Tenggara dan menjadi media pengajaran agama. Bahasa Melayu juga punya peran yang penting bagi pemersatu seluruh wilayah itu.
Sejumlah karya bermutu di bidang teologi, hukum, sastra dan sejarah, segera bermunculan. Banyak daerah di wilayah ini seperti Pasai, Malaka dan Aceh juga Patani muncul sebagai pusat pengajaran agama yang menjadi daya tarik para pelajar dari sejumlah penjuru wilayah ini.
System pendidikan Islam kemudian segera di rancang. Dalam banyak batas, Masjid atau Surau menjadi lembaga pusat pengajaran. Namun beberapa lembaga seperti pesantren di Jawa dan pondok di Semenanjung Melaya segera berdiri. Hubungan dengan pusat-pusat pendidikan di Dunia Islam segera di bina. Tradisi pengajaran Paripatetis yang mendahului kedatangan Islam di wilayah ini tetap berlangsung. Ibadah Haji ke Tanah Suci di selenggarakan, dan ikatan emosional, spritual, psikologis, dan intelektual dengan kaum Muslim Timur Tengah segera terjalin. Lebih dari itu arus imigrasi masyarakat Arab ke wilayah ini semakin deras.
Di bawah bimbingan para ulama Arab dan dukungan negara, wilayah ini melahirkan ulama-ulama pribumi yang segera mengambil kepemimpinan lslam di wilayah ini. Semua perkembangan bisa dikatakan karena lslam, kemudian melahirkan pandangan hidup kaum Muslim yang unik di wilayah ini. Sambil tetap memberi penekanan pada keunggulan lslam, pandangan hdup ini juga memungkinkan unsur-unsur local masuk dalam pemikiran para ulama pribumi. Mengenai masalah identitas, internalisasi Islam, atau paling tidak aspek luarnya, oleh pendudukan kepulauan membuat Islam muncul sebagai kesatuan yang utuh dari jiwa dan identitas subyektif mereka. Namun fragmentasi politik yang mewarnai wilayah ini, di sisi lain, juga melahirkan perasaan akan perbedaan identitas politik diantara penduduk yang telah di Islamkan.
BAB II
KESIMPULAN
Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu: Saluran perdagangan, Saluran perkawinan, Saluran Tasawuf, Saluran pendidikan. Saluran kesenian, Saluran politik
[1] Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : PT Pustaka LP3ES, 1993. hal.195.
Label: http://spistai.blogspot.com.Sejarah Peradaban Islam - Islam Di Asia Tenggara
[3] Andi Faisal Bakti. Islam and Nation Formation in Idonesia. Jakarta: Logos, 2000, hlm, 156-157.
[4] Dedi Supriyadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, CV Pustaka Setia, Bandung : 2008, hal 230
[5] Prof.Dr. Azmymardi Azra, M.A, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Hal 95.
Kamis, 10 Januari 2013
nasehat
kemarin lusa aku mendapatkan nasihat dari seorang dosen..
orang yang beruntung pada tahun baru adalah
1. orang yang beriman
2. orang yang beramal sholeh
3. orang yang suka berbuat kebaikan
4. orang yang sabar
diantara empat uraian yang diatas adalah acuan terdapat pada Q.S Al-'Ashr...
-Allahu a'alam bi showab...
orang yang beruntung pada tahun baru adalah
1. orang yang beriman
2. orang yang beramal sholeh
3. orang yang suka berbuat kebaikan
4. orang yang sabar
diantara empat uraian yang diatas adalah acuan terdapat pada Q.S Al-'Ashr...
-Allahu a'alam bi showab...
Senin, 31 Desember 2012
faktor pendidikan menurut tokoh pendidikan islam
TUJUAN, METODE
DAN EVALUASI PENDIDIKAN
DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN K.H. HASYIM ASY’ARI
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor pendidikan dalam pembelajaran merupakan
sistem tolak ukur untuk keberhasilan dan menempuh tujuan siswa yang akan
dicapai, hal ini banyak berbagai pemikiran dari para tokoh pendidikan Islam.
Dengan demikian penulis mengambil pemikiran tokoh pendidikan Islam yaitu
Al-Ghazali dan KH.Hasyim Asy’ari. Dalam pemikiran-pemikiran tersebut terdapat
faktor-faktor pendidikan yakni Tujuan, metode dan evaluasi, sebenarnya
banyak lagi tetapi penulis mengambil hanya tiga faktor yang akan dianalisiskan dan
dikomparasikan antara tokoh kesatu dan tokoh yang kedua tersebut.
Sistem pendidikan al-ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan
yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (failasuf
al-Mutasawwifin). Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian
turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya.
(Ramayulis dkk, 2010:05)
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang Pendidikan lebih banyak ditinjau dari
segi etika dalam pendidikan. Etika dalam pendidikan banyak diungkapkan oleh
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada Bagian adab kesopanan pelajar dan
pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang, banyak disinggung dalam kaitannya
dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan. dan para ahli psikologi
pendidikan, menyinggungnya dalam kepribadian yang efektif bagi
pembelajaran.Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini diwarnai dengan
keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan
fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang
mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama
(tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh
sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia.
Untuk lebih memahami labih jelasnya
tentang pemikiran KH Hasyim Asy’ari maka kita akan mengupasnya dalam bab pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Ghazali
Nama
lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Ghazali, lahir pada Tahun 1095 M di kota Gazalah, sebuah kota
kecil dekat Tus di khurasan. Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di
Khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di
dunia Islam. (Harun Nasution,2010:29)
Sejak
kecil Imam Al-Ghazali dikenal sebagai anak pencinta ilmu pengetahuan.
Pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran pada ayahnya sendiri, ketika
ayahnya meningal dunia al-Ghazali dititipkan kepada teman ayahnya yang bernama
Ahmad bin Muhammad al-Razikani, beliau adalah seorang sufi besar di Thusia.
Al-Ghazali belajar dan mempelajari ilmu fiqh, riwayat hidup para wali, dan
kehidupan spiritual mereka. Selain ia belajar juga menghafal syair-syair
tentang mahabah kepada Allah, Al-Quran dan Sunnah.
Kemudian
ia masuk ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya,
gurunya seorag sufi yang bernama Yusuf al-Nassj. Setelah tamat ia melanjutkan
pelajarannya ke kota Jurjani, di antara gurunya yaitu Abi Nashr al-Isma’ali.
Karena ia masih ingin mempelajari banyak pengetahuan ia kembali ke kotanya
yaitu Thus dan beberapa tahun kemudian ia prig ke Nisabur dan masuk Madrasah
Nizamiah yang dipimpin oleh ulama besar, Imam Haramaini al-Juwaini salah
seorang tokoh aliran Asy’ariah.
Dengan
kecerdasan dan kepintaran al-Ghazali diakui oleh imam al-Juwaini, dan akhirnya
ia diangkat sebagai asisten sekaligus mewakili pimpinan Madrasah Nizamiah. Pada
tahun 1085 gurunya meninggal dunia Nisabur dan menuju ke Istana Nizham al-Muluk
yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk. Dan pada tahun 1090 M/
484 H iman al-Ghazali diangkat sebagai guru besar pada madrasah Nizamiah di
Baghdad. (Suwito dkk, 2003:158-159)
B. Tujuan, Metode Dan Evaluasi Pendidikan Dalam Pemikiran Al-Ghazali
1.
Tujuan pendidikan
Al-Ghazali
dalam pandangan beliau tentang pendidikan dan pengajaran bahwa tujuan akhir
yang ingin dicapai ada dua tujuan, sebagai berikut:
1)
Insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2)
Insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan mendalami dan mempelajari ilmu pengetahuan
adalah semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Mengenai hal ini Al-Ghazali sangat menekankan
kepada para penuntut ilmu agar menjadi ilmuan yang senantiasa menekuni profesi
dalam disiplin ilmunya masing-masing. Setiap penuntut ilmu yang mencintai
profesinya akan mencintai pelajaran. Ia akan mempergunakan seluruh waktunya
untuk melakukan penelitian.
Al-Ghazali mengatakan dalam salah satu kitabnya
bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada setiap masa adalah untuk membentuk
kesempurnaan dan ketentraman jiwa, karena itu ia bermaksud mengajarkan manusia
agar sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud
pendidikan itu. Tujuan ini kelihatannya lebih mengarah kepada sifat moral dan
regius, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.
2.
Metode Pengajaran
Perhatiannya
terhadap pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya
secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan khusus dengan sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanankan tugasnya. Proses pendidikan dan
pengajaran merupakan aktvitas yang menuntut adanya keteladanan guru dan
hubungan yang erat antara seseorang dengan lainnya yaitu guru dan murid yang akan mendorong terciptanya
metode pengajaran yang amat penting.
Al-Ghazali
amat menekankan pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Para guru
harus mengamalkan ilmunya yang hendak
diajarkannya dengan cara menarik perhatin para siswa, memberikan fasilitas dan
kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.
3.
Evaluasi Pendidikan
Menurut
Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan,
memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala
aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan
usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam
mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.
Adapun
subyek evaluasi pendidikan adalah orang
yang terikat dalam proses kependidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali
murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan
adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya
masing-masing dalam proses kependidikan.
Tujuan
evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan
sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses
kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti
dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
C. Biografi K.H, Hasyim
Asy’ari
Lahir
di Desa Nggendang, dua kilometer sebelah utara Jombang pada 24 Dzuqa’dah 1287
H/ 14 Februari 1817 M. garis ketururannya berasal dari kalanangan ulama.
Kakeknya KH Usman dikenal sebagai ulama besar di masanya yang memiliki
pesantren di Nggedang. Orang tuanya KH.Asj’ari yang menyunting Halimah putrid
KH.Usman menjadi penerus kemasyhuran pesantren Nggendang. Ia pun tercatat
sebagai keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI. (Rohinah, 2010:12)
D. Tujuan, Metode Dan Evaluasi Pendidikan Dalam Pemikiran K.H, Hasyim Asy’ari
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan meurut Hasyim Asy’ari adalah (1) menjadi insan yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT, (2) insan yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat
2.
Metode Pengajaran
Sistem
individual yang ditetapkan dalam metode wetonan dan sorogan, metode hafalan, Muhawarat, dan metode muzaharat, merupakan istilah-istilah
lain metode yang diterapkan pada Islam klasik seperti al-sama’, al-imla’, al-ijaza’, mudzakara, dan munazara. Bahkan penekanan aspek hapalan dalam penerapan
metode-metode diatas yang menjadi ciri khas pendidikan Islam klasik, juga
menjadi tipikal pesantren Tebuireng dan pesantren salaf atau tradisional. (Rohman,
2010:63)
Menurut
penulis ini bisa ditarik satu kesimpulan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari dalam
menggunakan metode pengajarannya lebih menitikberatkan pada metode hafalan,
sebagaimana pada umumnya menjadi karakteristik dari tradisi Syafi’iyah dan juga
menjadi salah satu ciri umum dalam tradisi pendidikan Islam.
Dalam
menentukan pilihan metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan tujuan,
materi maupun situasi lingkungan pendidikan dimana setiap unsur mempunyai
karakteristik yang berbeda. Sehingga pemilihan, penetapan dan penggunaan metode
dalam proses pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik tersebut. Metode
konvensional yang lazim digunakan oleh kiai dalam proses pembelajaran di
pesantren (pendidikan Islam tradisional) adalah sistem bandongan, sorogan dan
wetonan dengan kajian pokok kitab kuning atau kitab klasik. Selain metode
sorogan dan bandongan, Kiai Hasyim Asy’ari juga mengembangkan sistem
musyawarah, yang pesertanya hanya santri senior
dan telah mengikuti seleksi yang cukup ketat. Hal ini dimaksudkan untuk
mengkader calon-calon ulama masa depan agar dapat mengembangkannya di daerah
masing-masing.
Masih
berkenaan dengan metode belajar mengajar, masa depan di pesantren yag relative
panjang, akan tetapi prinsip masyarakat modern cenderung praktis-pragmatis.
Prinsip ini tidak hanya berlaku disektor ekonomi
3.
Evaluasi Pendidikan
Pada
dasarnya tradisionalisme pendidikan (Islam klasik) mengindikasikan bahwa
aplikasi pendidikan lebih berpusat pada subject
matter oriented dengan posisi sentral pada keberadaan seorang guru sebagai
subjek yang menentukan dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini,
sesungguhnya konsep dan aktualisasi pendidikan Kiai Hasyim Asy’ari lebih dekat
kepada kerangka essensialisme (lebih menitikberatkan pada materi) ketimbang
progressifme (lebih menitikberatkan pada aspek intelektual/kecerdasan).
Mengenai
evaluasi menurut pemikiran KH Hasyim Asy’ari memang dalam proses evaluasi tidak
menggunakan standarisasi nilai, namun jika ditelisik sistem pendidikan
islam sebenarnya proses itu sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari pemikiran KH Hasyim Asy’ari yang
telah digambarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran KH Hasyim
Asy’ari masih bercorak tradisionalis, tetapi pemikiran KH Hasyim Asy’ari tetap
sesuai dan tepat jika diterapkan dalam pendidikan islam saat ini, terutama
dalam beberapa aspek antara lain: dalam hal tujuan pendidikan, materi dan dasar
yang digunakan yaitu Al-Qu’an dan Al-Hadist.
E.
Perbedaan Tiga Faktor Pendidikan dalam Pemikiran
Al-Ghhazali dan KH.Hasyim Asy’ari
Dari penjelasan
yang diatas ada hal yang membedakan antara dua tokoh tersebut, akan tetapi
dalam tujuan pendidikan kedua tokoh mempunyai titik kesamaan dalam bertujuan
pendidikan yakni menjadi
insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dalam metode, evaluasi pendidikan
mmempunya perbedaan yang tidak jauh pemikiran dua tokoh tersebut, yakni
pemikiran al-Ghazali tetang metode dan evaluasi ialah mendemonskrasikan dan
mempersiapkan bahan ajar yang akan disampaikan oleh guru kepada siswanya dan
untuk evaluasi sangat dilakukan dan diperhatikan ketika setelah proses
pembelajaran, kini evaluasi sangat berpengaruh terhadap tujuan pendidikan bagi
siswa.
Adapun perbedaan dari pemikiran
KH.Hasyim Asy’ari dalam metodenya ialah metode hafalan, hafalan yang
mempengaruhi konsentrasi santri atau siswa dalam mempergunakan intelektualnya,
sehingga santri atau siswa dapat menguasai lebih lama dan jauh, sehingga dalam
sistem evaluasi sangat berkaitan dalam proses pembelajaran hafalan, akan tetapi
dalam pemikiran KH.Hasyim Asy’ari ini evaluasi yang digunakan yakni keteladanan dan kesopanan dalam
menghormati guru.
Dengan demikian antara perbedaan
yang telah dipaparkan diatas mempunyai banyak pengetahuan dan pelajaran,
sehingga dapat mengambil ibrah dan pelajaran atau pun pengetahuan dari dua
tokoh tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah dijelaskan,
dapat kami simpulkan bahwa Pandangan
terhadap ilmu dan agama, signifikasikan adalah
upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusiaa bisa taqwa kepada
Allah SWT dan mengamalkan segala peintahnya, sehingga pantas mendapatkan
predikat makhluk yang lebih tinggi derajatnya dari makhluk lainya.
Menekankan guru sebagai subyek yang
bertugas untuk mentransfer ilmu, dan murid sebagai obyek atau penerima ilmu. Proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai
tetapi menggunakan pengamatan tingkah laku siswa dalam kehidupan sehari hari.
B. Daftar Pustaka
a)
M. Noor, Rohinah, 2010. KH. Hasyim Asy;ari Memodernisasi NU dan
Pendidikan Islam. Grafindo Khazanah Ilmu: Jakarta
b)
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Msitisisme dalam Islam.
Bulan Bintang: Jakarta.
c)
Ramayulis dkk. 2010. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Quantum Teaching: Ciputat.
d)
Suwito dkk. 2003. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan.
Angkasa: Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)