TUJUAN, METODE
DAN EVALUASI PENDIDIKAN
DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN K.H. HASYIM ASY’ARI
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor pendidikan dalam pembelajaran merupakan
sistem tolak ukur untuk keberhasilan dan menempuh tujuan siswa yang akan
dicapai, hal ini banyak berbagai pemikiran dari para tokoh pendidikan Islam.
Dengan demikian penulis mengambil pemikiran tokoh pendidikan Islam yaitu
Al-Ghazali dan KH.Hasyim Asy’ari. Dalam pemikiran-pemikiran tersebut terdapat
faktor-faktor pendidikan yakni Tujuan, metode dan evaluasi, sebenarnya
banyak lagi tetapi penulis mengambil hanya tiga faktor yang akan dianalisiskan dan
dikomparasikan antara tokoh kesatu dan tokoh yang kedua tersebut.
Sistem pendidikan al-ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan
yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (failasuf
al-Mutasawwifin). Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian
turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya.
(Ramayulis dkk, 2010:05)
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang Pendidikan lebih banyak ditinjau dari
segi etika dalam pendidikan. Etika dalam pendidikan banyak diungkapkan oleh
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada Bagian adab kesopanan pelajar dan
pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang, banyak disinggung dalam kaitannya
dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan. dan para ahli psikologi
pendidikan, menyinggungnya dalam kepribadian yang efektif bagi
pembelajaran.Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini diwarnai dengan
keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan
fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang
mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama
(tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh
sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia.
Untuk lebih memahami labih jelasnya
tentang pemikiran KH Hasyim Asy’ari maka kita akan mengupasnya dalam bab pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Ghazali
Nama
lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Ghazali, lahir pada Tahun 1095 M di kota Gazalah, sebuah kota
kecil dekat Tus di khurasan. Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di
Khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di
dunia Islam. (Harun Nasution,2010:29)
Sejak
kecil Imam Al-Ghazali dikenal sebagai anak pencinta ilmu pengetahuan.
Pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran pada ayahnya sendiri, ketika
ayahnya meningal dunia al-Ghazali dititipkan kepada teman ayahnya yang bernama
Ahmad bin Muhammad al-Razikani, beliau adalah seorang sufi besar di Thusia.
Al-Ghazali belajar dan mempelajari ilmu fiqh, riwayat hidup para wali, dan
kehidupan spiritual mereka. Selain ia belajar juga menghafal syair-syair
tentang mahabah kepada Allah, Al-Quran dan Sunnah.
Kemudian
ia masuk ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya,
gurunya seorag sufi yang bernama Yusuf al-Nassj. Setelah tamat ia melanjutkan
pelajarannya ke kota Jurjani, di antara gurunya yaitu Abi Nashr al-Isma’ali.
Karena ia masih ingin mempelajari banyak pengetahuan ia kembali ke kotanya
yaitu Thus dan beberapa tahun kemudian ia prig ke Nisabur dan masuk Madrasah
Nizamiah yang dipimpin oleh ulama besar, Imam Haramaini al-Juwaini salah
seorang tokoh aliran Asy’ariah.
Dengan
kecerdasan dan kepintaran al-Ghazali diakui oleh imam al-Juwaini, dan akhirnya
ia diangkat sebagai asisten sekaligus mewakili pimpinan Madrasah Nizamiah. Pada
tahun 1085 gurunya meninggal dunia Nisabur dan menuju ke Istana Nizham al-Muluk
yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk. Dan pada tahun 1090 M/
484 H iman al-Ghazali diangkat sebagai guru besar pada madrasah Nizamiah di
Baghdad. (Suwito dkk, 2003:158-159)
B. Tujuan, Metode Dan Evaluasi Pendidikan Dalam Pemikiran Al-Ghazali
1.
Tujuan pendidikan
Al-Ghazali
dalam pandangan beliau tentang pendidikan dan pengajaran bahwa tujuan akhir
yang ingin dicapai ada dua tujuan, sebagai berikut:
1)
Insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2)
Insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan mendalami dan mempelajari ilmu pengetahuan
adalah semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Mengenai hal ini Al-Ghazali sangat menekankan
kepada para penuntut ilmu agar menjadi ilmuan yang senantiasa menekuni profesi
dalam disiplin ilmunya masing-masing. Setiap penuntut ilmu yang mencintai
profesinya akan mencintai pelajaran. Ia akan mempergunakan seluruh waktunya
untuk melakukan penelitian.
Al-Ghazali mengatakan dalam salah satu kitabnya
bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada setiap masa adalah untuk membentuk
kesempurnaan dan ketentraman jiwa, karena itu ia bermaksud mengajarkan manusia
agar sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud
pendidikan itu. Tujuan ini kelihatannya lebih mengarah kepada sifat moral dan
regius, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.
2.
Metode Pengajaran
Perhatiannya
terhadap pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya
secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan khusus dengan sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanankan tugasnya. Proses pendidikan dan
pengajaran merupakan aktvitas yang menuntut adanya keteladanan guru dan
hubungan yang erat antara seseorang dengan lainnya yaitu guru dan murid yang akan mendorong terciptanya
metode pengajaran yang amat penting.
Al-Ghazali
amat menekankan pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Para guru
harus mengamalkan ilmunya yang hendak
diajarkannya dengan cara menarik perhatin para siswa, memberikan fasilitas dan
kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.
3.
Evaluasi Pendidikan
Menurut
Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan,
memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala
aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan
usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam
mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.
Adapun
subyek evaluasi pendidikan adalah orang
yang terikat dalam proses kependidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali
murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan
adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya
masing-masing dalam proses kependidikan.
Tujuan
evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan
sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses
kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti
dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
C. Biografi K.H, Hasyim
Asy’ari
Lahir
di Desa Nggendang, dua kilometer sebelah utara Jombang pada 24 Dzuqa’dah 1287
H/ 14 Februari 1817 M. garis ketururannya berasal dari kalanangan ulama.
Kakeknya KH Usman dikenal sebagai ulama besar di masanya yang memiliki
pesantren di Nggedang. Orang tuanya KH.Asj’ari yang menyunting Halimah putrid
KH.Usman menjadi penerus kemasyhuran pesantren Nggendang. Ia pun tercatat
sebagai keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI. (Rohinah, 2010:12)
D. Tujuan, Metode Dan Evaluasi Pendidikan Dalam Pemikiran K.H, Hasyim Asy’ari
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan meurut Hasyim Asy’ari adalah (1) menjadi insan yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT, (2) insan yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat
2.
Metode Pengajaran
Sistem
individual yang ditetapkan dalam metode wetonan dan sorogan, metode hafalan, Muhawarat, dan metode muzaharat, merupakan istilah-istilah
lain metode yang diterapkan pada Islam klasik seperti al-sama’, al-imla’, al-ijaza’, mudzakara, dan munazara. Bahkan penekanan aspek hapalan dalam penerapan
metode-metode diatas yang menjadi ciri khas pendidikan Islam klasik, juga
menjadi tipikal pesantren Tebuireng dan pesantren salaf atau tradisional. (Rohman,
2010:63)
Menurut
penulis ini bisa ditarik satu kesimpulan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari dalam
menggunakan metode pengajarannya lebih menitikberatkan pada metode hafalan,
sebagaimana pada umumnya menjadi karakteristik dari tradisi Syafi’iyah dan juga
menjadi salah satu ciri umum dalam tradisi pendidikan Islam.
Dalam
menentukan pilihan metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan tujuan,
materi maupun situasi lingkungan pendidikan dimana setiap unsur mempunyai
karakteristik yang berbeda. Sehingga pemilihan, penetapan dan penggunaan metode
dalam proses pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik tersebut. Metode
konvensional yang lazim digunakan oleh kiai dalam proses pembelajaran di
pesantren (pendidikan Islam tradisional) adalah sistem bandongan, sorogan dan
wetonan dengan kajian pokok kitab kuning atau kitab klasik. Selain metode
sorogan dan bandongan, Kiai Hasyim Asy’ari juga mengembangkan sistem
musyawarah, yang pesertanya hanya santri senior
dan telah mengikuti seleksi yang cukup ketat. Hal ini dimaksudkan untuk
mengkader calon-calon ulama masa depan agar dapat mengembangkannya di daerah
masing-masing.
Masih
berkenaan dengan metode belajar mengajar, masa depan di pesantren yag relative
panjang, akan tetapi prinsip masyarakat modern cenderung praktis-pragmatis.
Prinsip ini tidak hanya berlaku disektor ekonomi
3.
Evaluasi Pendidikan
Pada
dasarnya tradisionalisme pendidikan (Islam klasik) mengindikasikan bahwa
aplikasi pendidikan lebih berpusat pada subject
matter oriented dengan posisi sentral pada keberadaan seorang guru sebagai
subjek yang menentukan dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini,
sesungguhnya konsep dan aktualisasi pendidikan Kiai Hasyim Asy’ari lebih dekat
kepada kerangka essensialisme (lebih menitikberatkan pada materi) ketimbang
progressifme (lebih menitikberatkan pada aspek intelektual/kecerdasan).
Mengenai
evaluasi menurut pemikiran KH Hasyim Asy’ari memang dalam proses evaluasi tidak
menggunakan standarisasi nilai, namun jika ditelisik sistem pendidikan
islam sebenarnya proses itu sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari pemikiran KH Hasyim Asy’ari yang
telah digambarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran KH Hasyim
Asy’ari masih bercorak tradisionalis, tetapi pemikiran KH Hasyim Asy’ari tetap
sesuai dan tepat jika diterapkan dalam pendidikan islam saat ini, terutama
dalam beberapa aspek antara lain: dalam hal tujuan pendidikan, materi dan dasar
yang digunakan yaitu Al-Qu’an dan Al-Hadist.
E.
Perbedaan Tiga Faktor Pendidikan dalam Pemikiran
Al-Ghhazali dan KH.Hasyim Asy’ari
Dari penjelasan
yang diatas ada hal yang membedakan antara dua tokoh tersebut, akan tetapi
dalam tujuan pendidikan kedua tokoh mempunyai titik kesamaan dalam bertujuan
pendidikan yakni menjadi
insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan insan yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dalam metode, evaluasi pendidikan
mmempunya perbedaan yang tidak jauh pemikiran dua tokoh tersebut, yakni
pemikiran al-Ghazali tetang metode dan evaluasi ialah mendemonskrasikan dan
mempersiapkan bahan ajar yang akan disampaikan oleh guru kepada siswanya dan
untuk evaluasi sangat dilakukan dan diperhatikan ketika setelah proses
pembelajaran, kini evaluasi sangat berpengaruh terhadap tujuan pendidikan bagi
siswa.
Adapun perbedaan dari pemikiran
KH.Hasyim Asy’ari dalam metodenya ialah metode hafalan, hafalan yang
mempengaruhi konsentrasi santri atau siswa dalam mempergunakan intelektualnya,
sehingga santri atau siswa dapat menguasai lebih lama dan jauh, sehingga dalam
sistem evaluasi sangat berkaitan dalam proses pembelajaran hafalan, akan tetapi
dalam pemikiran KH.Hasyim Asy’ari ini evaluasi yang digunakan yakni keteladanan dan kesopanan dalam
menghormati guru.
Dengan demikian antara perbedaan
yang telah dipaparkan diatas mempunyai banyak pengetahuan dan pelajaran,
sehingga dapat mengambil ibrah dan pelajaran atau pun pengetahuan dari dua
tokoh tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah dijelaskan,
dapat kami simpulkan bahwa Pandangan
terhadap ilmu dan agama, signifikasikan adalah
upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusiaa bisa taqwa kepada
Allah SWT dan mengamalkan segala peintahnya, sehingga pantas mendapatkan
predikat makhluk yang lebih tinggi derajatnya dari makhluk lainya.
Menekankan guru sebagai subyek yang
bertugas untuk mentransfer ilmu, dan murid sebagai obyek atau penerima ilmu. Proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai
tetapi menggunakan pengamatan tingkah laku siswa dalam kehidupan sehari hari.
B. Daftar Pustaka
a)
M. Noor, Rohinah, 2010. KH. Hasyim Asy;ari Memodernisasi NU dan
Pendidikan Islam. Grafindo Khazanah Ilmu: Jakarta
b)
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Msitisisme dalam Islam.
Bulan Bintang: Jakarta.
c)
Ramayulis dkk. 2010. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Quantum Teaching: Ciputat.
d)
Suwito dkk. 2003. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan.
Angkasa: Bandung.